DALAM Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017, No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, Kementerian berargumen bahwa sistem PPDB zonasi ini bertujuan meningkatkan akses layanan pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi orang tua siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan PPDB zonasi juga bertujuan untuk menghapus predikat sekolah favorit.
Kementerian Pendidikan beranggapan bahwa sistem PPDB sebelumnya, yang menggunakan nilai ujian sebagai basis seleksi penerimaan, cenderung menerima siswa dengan capaian akademik yang relatif tinggi yang umumnya berasal dari keluarga mampu. Konsekuensinya, siswa dengan kemampuan rendah, khususnya yang berasal dari keluarga tidak mampu, terpaksa bersekolah di sekolah swasta atau bahkan berisiko putus sekolah. Padahal kenyataan dilapangan tidak seperti itu, kemampuan anak yang tinggi tidak selamanya didominasi oleh anak orang kaya, tetapi walaupun anak orang miskin banyak yang memiliki kemampuan yang tinggi atau cerdas.
Penerapan sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di berbagai tingkat sekolah negeri oleh pemerintah sejak dua tahun terakhir, menuai banyak kritik. Siswa dengan nilai yang tinggi tidak bisa mendapat sekolah dengan mutu unggul atau dengan kata lain sekolah favorit, karena kalah dengan siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan. Begitu juga dengan siswa yang berdomisili jauh dari sekolah manapun, akhirnya kebingungan akan melanjutkan sekolah dimana.
Tak hanya siswa yang kebingungan, orang tua juga tak kalah panik, akhirnya anak menjadikan sekolah swasta sebagai pilihan dengan pertimbangan kualitas yang lebih baik. Padahal, orangtua menyadari bahwa pilihan itu biayanya sangat tinggi.
Siswa baru yang diterima melalui PPDB zonasi memang tinggal lebih dekat dengan sekolah negeri dibanding PPDB berbasis prestasi. Namun, komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi memiliki nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini menuntut guru-guru di sekolah negeri untuk beradaptasi dengan cepat menghadapi siswa yang memiliki karakter berbeda.
Para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan kemampuan rata-rata tinggi, kini harus mengajar siswa dengan nilai rata-rata rendah dengan kemampuan yang sangat beragam. Padahal, keterampilan yang dibutuhkan oleh guru yang mengajar anak-anak berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah berbeda. Anak-anak berkemampuan tinggi membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru agar bisa termotivasi dan meningkatkan kemampuannya. Di sisi lain, anak-anak berkemampuan rendah membutuhkan bantuan guru untuk membangun pemahaman ilmunya dengan benar.
Tantangan guru dalam mengajar anak dengan kemampuan beragam lebih berat daripada anak dengan kemampuan yang relatif homogen. Guru yang mengajar kelas yang homogen cenderung lebih mudah. Namun, ketika kelas yang diajar relatif heterogen, guru harus menyesuaikan pola mengajarnya
Terlepas dari masalah yang dihadapi guru, siswa pun mengalami tantangan akibat komposisi kelas yang heterogen. Siswa yang lambat dalam belajar bisa tertinggal dari teman-temannya, siswa yang cepat dalam belajar dapat kehilangan motivasi jika tidak mendapatkan tantangan.
Meski sekolah swasta tidak diwajibkan mengikuti sistem PPDB zonasi, sekolah swasta terkena dampak meski tidak secara langsung. Sekolah swasta yang letaknya berdekatan dengan sekolah negeri akan merugi karena mereka berpotensi kehilangan calon siswanya. Di sisi lain, sekolah swasta dengan kualitas yang baik akan diuntungkan karena berpotensi menerima pendaftar dengan kemampuan tinggi yang tidak diterima di sekolah negeri akibat sistem PPDB zonasi.
Sebelum melaksanakan kebijakan PPDB sistem zonasi, seharusnya melakukan tahap-tahap yang dimulai dengan mendistribusikan guru berkualitas, dan prasarana yang memadai ke sekolah-sekolah yang dinilai masih di bawah standar minimal. Sehingga saat kebijakan itu diterapkan tidak akan ditemui sekolah yang masih minim prasarana, apalagi gurunya tergolong belum senior semua. Sebab yang terjadi saat ini, guru yang senior masih berada pada sekolah-sekolah yang dulu dianggap favorit. (*)