BUKU adalah jendela dunia, masihkah? Literasi erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Sebagaimana pendapat Elizabeth Sulzby, literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, berbicara, menyimak dan menulis” dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya (Sulzby, 1986). Jika dimaknai secara singkat, definisi literasi yaitu kemampuan menulis dan membaca.
Ya, menulis dan membaca merupakan satu kesatuan integral yang tak bisa dipisahkan bagi seorang pelajar. Mustahil siswa mampu menulis jika dia tidak bisa membaca, begitu juga sebaliknya. Siswa perlu banyak membaca untuk meningkatkan cakrawala pengetahuannya. Walaupun sekarang sudah zaman digital di mana siswa dapat mengakses buku digital dari layar gawai, namun pada kenyataannya berdasarkan observasi yang dilakukan penulis terhadap aktivitas siswa dalam pemanfaatan smart phone, mereka lebih sering menggunakannya untuk bermain aneka games dan pelbagai jenis platform social media.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, mayoritas anak usia sekolah dasar di Indonesia mengakses internet untuk bermain media sosial. Persentasenya mencapai 88,99% alias yang terbesar dibandingkan dengan pemanfaatan dalam bidang lainnya.
Selain media sosial, sebanyak 66,13% anak usia sekolah dasar di Indonesia juga mengakses internet untuk mendapat informasi atau berita. Ada pula yang mengakses internet untuk kepentingan hiburan sebanyak 63,08%.
Pada sisi yang lain, fase anak usia Sekolah Dasar (SD) merupakan masa yang paling tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca karena akan mempengaruhi keberlanjutan pendidikannya. Hal ini karena pada dasarnya manusia adalah pembelajar sepanjang hayat.
Membaca buku sangat penting bagi perkembangan anak secara keseluruhan. Membaca adalah keahlian fundamental yang dibutuhkan seseorang pelajar. Karena dengan membaca, pelajar dapat menambah wawasan, kemampuan menulis, perbendaharaan kosakata, yang dapat membantu perkembangan mereka. Alhasil, membaca dapat meningkatkan literasi yang akan membantu mereka lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke 74 dari 80 negara alias peringkat keenam dari bawah. Kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 posisi yang sangat memprihatinkan. Selain itu, juga tak pernah mencapai skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Walaupun berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun ini, Indonesia berhasil naik 0,05 poin dari 3,49 menjadi 3,54 poin. Namun, perolehan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, penting bagi seorang guru untuk berinovasi meningkatkan minat baca siswa. Salah satunya melalui program Pojok Baca.
Inovasi Pojok Baca dapat merangsang minat siswa dalam membaca pelbagai buku. Sudah jamak diketahui bahwa ilmu pengetahuan tak melulu bisa diperoleh siswa dari aktivitas kurikuler pembelajaran. Hal tersebut dapat terlihat saat anak-anak mulai tumbuh cara berpikir kritisnya, ingin lebih tahu, dan menyelesaikan buku bacaannya. Begitu juga saat mereka istirahat sembari menikmati makanan jajanan. Mereka kembali membuka buku yang belum sempat mereka selesaikan.
Supaya lebih menarik, inovasi Pojok Baca bisa disinergikan dengan ragam koleksi buku di perpustakaan sekolah. Guru dapat menerapkan siklus, setiap tiga hari sekali, daftar judul buku diperbaharui secara berkala. Tujuannya di samping menghindari kejenuhan, siswa sejak dini dibiasakan untuk menerima berbagai informasi yang berbeda. Dengan cara ini, cara pandang mereka jadi luas dan tidak gampang melalukan klaim kebenaran secara sepihak. (*)