SEBELUM ziarah ke makam Sosrokartono, tim Pena Muda mampir ke makam Kangdjeng Kjai Adipati Ario Tjondronagoro III Bupati Pati-Kudus 1812-1837 sekaligus buyut dari Sosrokartono.
Juru kunci ke-10 Makam Sedomukti T. Sunaro menyebut makam dengan luas 2 hektar itu bukan untuk makam umum. “Ini makam keluarga. Khusus untuk trah Tjondronegoro. Jadi buyut, simbah, bapak, dan ibunya Mbah Sosrokartono ya di makamkan di sini,” katanya.
Kenapa disemayamkan di sini? Sunarto menjawab karena semua keluarganya di makamkan di sini. “Jadi beliau meniggal dunia di Bandung. Nah setelah itu dibawa ke sini dengan pesawat. Dari Semarang dibawa ke Kudus dengan mobil,” terangnya. Sosrokartono meninggal pada 8 Februari 1952.
Jadi, kata Sunarto, Mbah Sosro tidak tinggal di Kudus. Setelah dari Belanda langsung tinggal Bandung hingga akhir hayatnya.
Cantrik (ajudan) Sosrokartono bernama Sudiyani pernah menceritakan kalau Sosrokartono ahli trakat. “Beliau pernah puasa 47 hari ngebleng alias buka dan sahur dijadikan satu. Selain itu, Mbah Sosro juga pernah buka dan sahur dengan cabai rawit dan air putih. Hanya makan itu saja,” jelasnya.
Tak hanya itu, Sosrokartono juga aktif menulis. Selain sudah terlatih saat di sekolah dan menjadi wartawan, Sosrokartono juga sering membuat surat. Surat-surat itu lantas dibukukan oleh cantriknya. “Laku dan surat-suratnya ada di sini. Di tempat lain tidak ada. Jumlah bukunya ada 13. Ini ada di sini,” katanya sambil menunjuk sebuah lemari di dekat makam.
Sosrokartono membujang seumur hidup. Pernah dijodohkan, namun dia menolak. “Sebab kalau menikah, beliau tidak jadi Djoko lagi. Nama lain dari Mbah Sosro kan Djoko Pring,” jelas lantas tersenyum. Bahkan Sosrokartono juga tidak mau diberi gelar atau jabatan, sebab dia tidak mau dikenal.