RMP.Sosrokartono menguasai 36 bahasa. Kemampuan itulah yang mengantarkan dia menjadi jurnalis perang dunia I
T.SUNARTO tampak rapi. Dia mengenakan kemeja merah jambu berlengan panjang, celana abu, dan peci hitam. Sore itu, udara cukup dingin. Gerimis turun membahasi kompleks Makam Sedomukti pada (24/2).
Dia berjalan melewati makam-makam trah Tjondronegoro (masih keturunan Kerajaan Majapahit), menuju ke Makam RMP. Sosrokartono (kakak RA Kartini). Tim pena muda mengekor di belakangnya.
Makam RMP. Sosrokartono berada di ujung kompleks. Di sanalah Djoko Pring disemayamkan.
Makam Sosrokartono sederhana bila dibandingkan dengan makam bapak hingga buyutnya. Namun pada batu nisannya ada doa yang ditulis dengan aksara Jawa. Salah satu berbunyi: “Timah mawi pasrah. Soewoeng pamrih, tebih adjrih. Langgeng, tan ono soesah, tan ono seneng. Anteng manteng, soegeng djeneng”. Salah satu surat Sosrokartono juga diabadikan dalam sebuah batu marmer. Di makam itu juga ada lemari tempat menyimpan buku yang membahas tentang sosok Sosrokartono. Ada pula foto, dua lukisan Sosrokartono serta lambang alif.
“Mbah Sosrokartono itu pintar dalam segala hal,” kata Sunarto, juru kunci makam keluarga Sedomukti, Kaliputu.
Sunarto menceritakan, Sosrokartono lahir pada Rabu Pahing, 10 April 1877. Sosok yang memiliki nama lain Mandor Kloengsoe dan Djoko Pring lahir saat ayahnya RM Adipati Ario Sosroningrat sedang menjabat sebagai kawedanan Mayong, Jepara.
“Saat memasuki usia tiga tahun, Sosrokartono sudah diberi ilmu. Apa yang diucapkan kejadian,” katanya.
Salah satunya saat Sosrokartono kecil mengatakan ayahnya akan segera pindah. “Selang beberapa waktu, ayahnya menjadi bupati Jepara,” terang Sunarto.
Sebagai anak bangsawan, Sosrokartono mendapatkan banyak fasilitas pendidikan. Sejak kecil dia dimasukkan di sekolah Belanda, mulai dari tingkat ELS hingga HBS. Saat di HBS, dia mulai mempelajari berbagai bahasa seperti basaha Inggris, Perancis, hingga Jerman.
Usai lulus HBS, Sosrokartono belajar ke Belanda. Saat itu, dia menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang belajar di Belanda.
Selepas lulus dari Universitas Leiden, Sosrokartono bekerja menjadi penerjemah di Austria. Pada 1914, ketika terjadi perang dunia I, dia tertarik untuk menjadi jurnalis di The New York Herald, koran asal Amerika Serikat yang menerbitkan edisi Eropa.
Saat itu, dia berhasil mengalahkan pendaftar lain dari seluruh dunia. “Ini karena Mbah Sosrokartono menguasai 36 bahasa. Dengan rincian 26 bahasa luar negeri dan 10 bahasa dalam negeri. Selain itu, Mbah Sosro juga memiliki keahlian menulis. Banyak surat yang sudah beliau tulis,” terangnya.