26.1 C
Kudus
Sunday, May 28, 2023

Ngaji Suluk Maleman: Manusia Hanya Bertamu, Dunia Bukan Tujuan Akhir

PATI – Dunia bukan tujuan akhir perjalanan manusia. Boleh dibilang manusia hanya “bertamu” ke dunia. Seringkali keterikatan pada dunia bisa membawa manusia pada jurang kehancuran.

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman mengingatkan jika manusia hanyalah tamu yang didatangkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tamu yang baik tentu bukan yang datang kemudian membuat kerusakan.

“Kita hanyalah tamu yang akan pulang ke sangkan paran. Kita hanyalah penyinggah bukan penetap. Jadi tak perlu adigang, adigung, adiguna,” terangnya dalam Suluk Maleman edisi ke-135 kemarin.


Jika menyadari hanya singgah di dunia, maka manusia tak akan menghabiskan waktunya untuk dunia namun mengejar akhirat.

“Sebaliknya, jika menganggap menetap di bumi, maka akan menganggapnya sebagai rumah. Alhasil segala sesuatu akan dihabiskan untuk bumi saja. Padahal satu hari di akhirat seperti 1.000 tahun di bumi. Jadi kenapa kita mengejar untuk yang hanya sebentar?,” satirenya.

Menurutnya, bumi hanyalah perantara menuju ke akhirat. Dengan kesadaran itu maka semua yang dilakukan di bumi harus halalan thayyiban. Dalam bertindak tidak ngawur. Tidak mengeluh saat diberi cobaan. Serta ketika diberi kemuliaan tidak akan menjadi sombong.

“Dunia itu penting tapi remeh untuk jadi tujuan,” tambahnya.

Diantara ciri merasa dunia sebagai utama, dikatakannya yakni ketika telah merasa sakit ketika kehilangan sesuatu. Semakin merasa sakit maka kemelekatan dengan dunia juga makin kuat.

Baca Juga :  Polresta Pati Komitmen Tolak Gratifikasi hingga Respon Cepat Aduan Masyarakat

“Baik kehilangan barang berharga, atau jabatan jika sakit sekali maka keteritakannya dengan dunia juga kuat,” tambahnya.

Agar tak terjebak pada dunia, maka bisa dilatih dengan pengelolaan antara roh, akal, nafsu, dan qalb. Hal itu sesuai ajaran Sunan Kalijaga yakni sedulur papat dan menghasilkan lima pancer yakni kepribadian yang baik.

Sementara itu Dr. Abdul Jalil, narasumber lainnya menyebut dalam pergerakan dunia yang seperti sekarang ini, butuh perjuangan yang istiqomah agar nilai-nilai yang baik dapat menjadi pegangan.

“Sekarang ini pertarungannya bagaimana memenangkan nilai yang baik. Kita harus berjuang agar setidaknya nilai itu bisa menjadi standar di hati. Bahkan sebisa-bisa menjadi standar nasional atau kalau perlu hingga mendunia,” terangnya.

Jika nilai-nilai sudah terinternalisasi, maka tinggal menata struktur modal, politik, budaya maupun tekhnologi. Jika hal tersebut bisa tercapai maka ujungnya dapat tercapai insan kamil seperti yang disebutkan Ibn Arabi.

“Yang ditengah haruslah akhlak. Perpaduan antara akal, hati, ruh dan nafsu itulah yang akan menjadi nafs dan menjadi jati diri kita,” imbuhnya. (aua)






Reporter: Achmad Ulil Albab

PATI – Dunia bukan tujuan akhir perjalanan manusia. Boleh dibilang manusia hanya “bertamu” ke dunia. Seringkali keterikatan pada dunia bisa membawa manusia pada jurang kehancuran.

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman mengingatkan jika manusia hanyalah tamu yang didatangkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tamu yang baik tentu bukan yang datang kemudian membuat kerusakan.

“Kita hanyalah tamu yang akan pulang ke sangkan paran. Kita hanyalah penyinggah bukan penetap. Jadi tak perlu adigang, adigung, adiguna,” terangnya dalam Suluk Maleman edisi ke-135 kemarin.

Jika menyadari hanya singgah di dunia, maka manusia tak akan menghabiskan waktunya untuk dunia namun mengejar akhirat.

“Sebaliknya, jika menganggap menetap di bumi, maka akan menganggapnya sebagai rumah. Alhasil segala sesuatu akan dihabiskan untuk bumi saja. Padahal satu hari di akhirat seperti 1.000 tahun di bumi. Jadi kenapa kita mengejar untuk yang hanya sebentar?,” satirenya.

Menurutnya, bumi hanyalah perantara menuju ke akhirat. Dengan kesadaran itu maka semua yang dilakukan di bumi harus halalan thayyiban. Dalam bertindak tidak ngawur. Tidak mengeluh saat diberi cobaan. Serta ketika diberi kemuliaan tidak akan menjadi sombong.

“Dunia itu penting tapi remeh untuk jadi tujuan,” tambahnya.

Diantara ciri merasa dunia sebagai utama, dikatakannya yakni ketika telah merasa sakit ketika kehilangan sesuatu. Semakin merasa sakit maka kemelekatan dengan dunia juga makin kuat.

Baca Juga :  BREAKING NEWS! Jembatan Juwana Terbakar, Imbas Kebakaran Lima Rumah di Bawah Jembatan

“Baik kehilangan barang berharga, atau jabatan jika sakit sekali maka keteritakannya dengan dunia juga kuat,” tambahnya.

Agar tak terjebak pada dunia, maka bisa dilatih dengan pengelolaan antara roh, akal, nafsu, dan qalb. Hal itu sesuai ajaran Sunan Kalijaga yakni sedulur papat dan menghasilkan lima pancer yakni kepribadian yang baik.

Sementara itu Dr. Abdul Jalil, narasumber lainnya menyebut dalam pergerakan dunia yang seperti sekarang ini, butuh perjuangan yang istiqomah agar nilai-nilai yang baik dapat menjadi pegangan.

“Sekarang ini pertarungannya bagaimana memenangkan nilai yang baik. Kita harus berjuang agar setidaknya nilai itu bisa menjadi standar di hati. Bahkan sebisa-bisa menjadi standar nasional atau kalau perlu hingga mendunia,” terangnya.

Jika nilai-nilai sudah terinternalisasi, maka tinggal menata struktur modal, politik, budaya maupun tekhnologi. Jika hal tersebut bisa tercapai maka ujungnya dapat tercapai insan kamil seperti yang disebutkan Ibn Arabi.

“Yang ditengah haruslah akhlak. Perpaduan antara akal, hati, ruh dan nafsu itulah yang akan menjadi nafs dan menjadi jati diri kita,” imbuhnya. (aua)






Reporter: Achmad Ulil Albab

Most Read

Artikel Terbaru