Layaknya KH. Maimoen Zubeir yang mendirikan pondok di tengah masyarakat pesisir yang kasar, Gus Baha’ juga hadir saat dakwah pesantren perlahan digeser gagasan Islam konservatif. Gus Baha’ menyampaikan cara berislam yang mudah, tidak ribet, dan tanpa menghakimi. Berikut laporan wartawan Jawa Pos Radar Kudus Eko Santoso dan Nibros Hassani yang nyantri di Ponpes Al Anwar, Sarang, Rembang.
SREK srek srek. Dengan gerakan yang ritmis, suara sapu lidi yang beradu dengan tanah memecah keheningan pagi. Waktu menunjukkan pukul 06.00. Suasana masih sepi. Para santri tertidur pulas. Sebab, semalam suntuk mereka menghafal.
Di depan pesantren, terlihat perempuan paruh baya menyapu di rumah bercat hijau yang terletak di sebelah barat bangunan yang dulu menjadi ndalem Gus Ghofur. Sekarang bangunan itu menjadi tempat ngaji dan kamar santri.
Perempuan itu bernama Melati Munawir, 60. Perempuan yang mengenakan gamis bermotif bunga berlengan panjang dan berkerudung cokelat itu rupanya menyapu halaman rumahnya yang akan digunakan santri untuk mengaji. “Nanti ada ngajinya Gus Ghofur,” katanya.
Dalam waktu sepuluh menit, sampah daun, plastik serta debu-debu di halaman rumahnya bersih. Sampah-sampah itu lantas dimasukkan ke keranjang dan dibawa ke belakang rumah.
Warga keturunan Madura itu mengaku sejak kecil tinggal di RT 2 RW 6, Desa Karangmangu, Sarang. Selain karena rutinitas harian, pagi itu dia menyapu karena mengetahui ada jadwal mengaji Gus Ghofur di siang hari. “Nanti saya kasih tikar,” terangnya.
Ya, karena banyaknya jamaah, bekas ndalem Gus Ghofur itu pun tak mampu menampung santri. Benar saja, saat pengajian digelar, aula penuh. Santri-santri yang tak mendapat ruang, akhirnya mencari tempat di teras rumah warga. Halaman rumah Melati pun menjadi salah satu sasarannya. Di teras itulah, para santri duduk lesehan. Sembari memegang kitab dan bolpoin, mereka mendengar pemaparan Gus Ghofur melalui speaker.

Kondisi ini berbeda dengan zaman Gus Baha’ mondok. Jumlah santri waktu itu masih terbatas. Tak sampai lima ribu seperti sekarang ini. Ngajinya pun terpusat di musala. Jadi, santri tak sampai menggunakan teras rumah warga.
Meski teras rumah digunakan santri, warga tak mempermasalahkan. Mereka justru mempersilakan dan tetap beraktivitas normal.
Warga yang bermukim mayoritas beretnis Jawa dan Madura. Mereka sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan santri-santri. “Saya ndak apa-apa, kalau mereka mengaji di sini (teras dan depan rumah). Malah seneng, siapa tahu jadi amal ibadah,” jelasnya.
Apalagi, kata dia, kehadiran pondok juga membawa kebaikan bagi warga sekitar. Mereka bisa turut mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Alquran dan kitab-kitab yang kerap dibaca santri.
“Dulu, anak-anak sini kurang baik. Sering mabuk. Bahkan tak jarang bertengkar,” jelasnya.
Itu dulu. Sebab setelah ada pondok, kebiasaan itu menghilang. Tak hanya itu, warga juga aktif mengikuti pengajian.
“Sepekan sekali ada pengajian dari pondok. Hal itu sudah ada sejak zaman Abah Maimoen. Sekarang anak-anaknya yang mengisi,” katanya.
Tak hanya itu, perlahan warga juga membuat rutinan setiap Senin di musala masing-masing.
Perubahan-perubahan sosial itu sejalan dengan niatan awal ketika KH. Maimoen Zubair mendirikan pondok. Selain sebagai tempat mengaji juga untuk dakwah. Tujuannya membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
“Sebab meski mayoritas masyarakat memeluk Islam, namun kala itu kehidupan warga kurang mencerminkan nilai-nilai Islam. Sebab agama belum dijadikan sumber nilai dalam berbagai bidang kehidupan baik individu maupun masyarakat,” ujar Lurah Pondok.Azis Muslim
Kondisi masyarakat seperti itulah yang menimbulkan keprihatinan KH. Maimoen Zubair. Keprihatinan itu dirasakan setelah beliau mendalami ilmu agama di berbagai tempat di Timur Tengah seperti di Makkah, Mesir, dan Suriah.
Dengan memilih membaur di kehidupan masyarakat menjadikan pondok mudah diterima dan terus berkembang. Terlebih nilai-nilai Islam yang disampaikan membumi serta kontekstual.
“Mbah Moen merangkul semua pihak. Dalam dakwahnya terdapat nilai-nilai kebangsaan. Dalam sisi masyarakat beliau membangun di daerah, diakui sangat berkontribusi. Beliau sosok yang lengkap,” terang Gus Idror.
Karakter dakwah dan syiar Islam yang merangkul semua pihak inilah yang juga tercermin dalam sosok Gus Baha’. Gus Baha’ menyampaikan nilai-nilai Islam sesuai konteks kehidupan masyarakat. Pada berbagai kesempatan kiai kelahiran 29 September 1970 itu menekankan nikmatnya berislam dengan mudah dan tanpa ribet. Tak ayal, putra ketiga dari KH. Nursalim itu menjadi idola santri YouTube (istilah penonton yang mengikuti pengajian Gus Baha’ lewat YouTobe).
Gus Baha memang sangat dekat dengan KH Maimoen. Dia kerap menemani Mbah Moen ke mana-mana. Hal inilah yang menurut Gus Idror mempengaruhi Gus Baha’ dalam berdakwah. Terlebih selama di Sarang, Gus Baha akrab dengan kehidupan pondok yang membaur di tengah masyarakat pesisir yang keras.
“Kalau mau mengenal ya harus bersama dalam waktu yang lama. Gus Baha’ lama mondok di Sarang dan dekat dengan Abah Maimoen. Tak ayal Gus Baha memiliki kedalaman keilmuan. Dan gaya dakwahnya yang santai dan memahami realitas sosial masyarakat,” terangnya.
Gus Baha’ hadir dengan gaya tutur yang santai, sambil guyonan, dan tanpa menggurui. Tak heran, namanya kian melambung seolah menjadi oase di tengah merebaknya dakwah Islam konservatif di media sosial.
Ketenarannya itu membuat Gus Baha’ dianugerahi Dai Of The Year 2020 dari Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI). (bersambung) (*/mal)