Muhammad Hasan, sejak 2016 menampilkan wayang sungai. Ia ingin menjaga ekologi. Agar tak kaku, penonton bisa berinteraksi dengan dalang. Pun bisa mengubah alur cerita.
MOH. NUR SYAHRI MUHARROM, Jepara, Radar Kudus
DERETAN karakter wayang dipasang di atas sebuah pelepah pisang. Karakternya beragam. Ada yang berbentuk yuyu, wader, ikan kuthuk, ikan lele, udang, besusul, dan lainnya. Jumlahnya sekitar 20 jenis.
Seluruhnya berkarakter fauna air. Muhammad Hasan, sang dalang, memainkan karakter wayang itu dengan lihai. Lakon yang dibawakannya berjudul Katak Berhenti Bernyanyi.
Di hadapan anak-anak, ia mengisahkan kehidupan di Sungai Muria. ”Pada suatu masa, karena tidak ada hujan. Sungai kering dan pohon tidak tumbuh,” kata Hasan sembari menggerakkan dua wayang di hadapan para santri Pesantren As-Syafi’iyyah Saripan, Jepara, belum lama ini.
” Akibatnya, terjadi perebutan kekuasaan. Penduduk sungai sebenarnya tak ingin itu. Namun karena debit air menipis, kehidupan jadi sempit,” katanya sambil mengatur nada suaranya membedakan satu karakter fauna satu dengan fauna lainnya.
Anak-anak yang menyaksikan pertunjukan terbaha-bahak mendengar suara dari dalang itu.
Wayang kali ini diciptakan Muhammad Hasan sejak 2016 lalu. Itu bermula dari projek kegiatan kolektif bernama Balada Kedung. Projek tersebut sudah berlangsung sejak 2014. Dari sana, muncullah media untuk pertunjukan yang mengarah ke ekologi sungai.
Saat awal terbentuk, hanya ada enam karakter utama. Ada udang, wader, lele, kuthuk, yuyu, dan besusul. Hasan sendiri membuat karakter-karakter itu. ”Dahulu hanya berbahan triplek, kami lukis,” ungkapnya sambil menunjukkan beberapa wayang di depannya.
Barulah di tahun 2018 wayang-wayangnya dikembangkan. Kali ini ada lebih dari 20 karakter. Yang jadi karakternya tetap fauna air. Karena tujuan utamanya memang ingin mengenalkan ekologi perairan dengan atraktif.
Bukan persoalan tentang se-urgent apa kondisi perairan di Jepara dan sekitarnya. Tapi lebih ke memberi kesadaran dan pengetahuan tentang ekosistem sungai. Terutama anak-anak. Sehingga muncul kesadaran mencegah dari pada mengobati.
Sebab itu, target market-nya pun kalangan anak-anak.
”Karena anak-anak saat ini menurut saya, jauh dari alam lingkungannya,” ucapnya sambil menghela napas.
”Dengan pertunjukan ini, diharapkan anak-anak bisa mengenalkan ekosistem yang ada di sungai,” kata Hasan, founder Rumah Belajar Ilalang. Seperti malam itu di Pesantren As-Syafi`iyyah. ”Pertunjukan saya rutin digelar di sekolah-sekolah atau komunitas anak,” tambah Hasan seraya menujukkan deretan jadwal pentasnya di secarik kertas.
Dalam tiap penampilan yang dibawakan, pertunjukan wayang kali tak berpatok pada pakem wayang. ”Pertunjukan kami lebih populer. Dan tidak pakem wayang. Kami bawakan secara luwes dan fleksibel,” Penonton juga bisa berinteraksi dan menginterupsi alur cerita. (*/zen)