KEMARIN malam saya sengaja melakukan perjalanan Kudus-Jepara. Ingin mengetahui persis lalu lintas di jalanan raya. Ingin tahu juga kondisi persis tengah kota. Kesan saya seperti kota mati. Begitu pulalah yang saya tangkap di kota-kota lain sebelumnya.
Pemandangan kota mati di malam hari ada di mana-mana. Di Semarang, Demak, Pati, Rembang, Pekalongan, Magelang, dan kota lain. Yang ramai dan tetap berjubal adalah akses ke luar kota. Apalagi setelah akses semua pito tol di Jateng ditutup total 16-22 Juli 2021.
Di Jepara saya bertemu serombongan petugas. Ada polisi, tentara, Dishub, dan Satpol PP. Saya hitung enam mobil. Ada yang berhalo-halo. ”Selama PPKM Darurat dilarang berjualan melebihi pukul 8 malam.” Saat itu kondisi jalanan sepi. Lampu penerangan jalan umum dimatikan.
Selama perjalanan saya bertemu empat rombongan petugas. Dari jauh sudah kelihatan lampu rotator yang gemerlap. Selain rombongan besar tadi, rombongan tiga mobil dan dua rombongan lain dua mobil. Saya berkesan aparat serius menerapkan aturan PPKM Darurat. ”Tapi ekonomi jadi hancur, Pak,” kata seorang penjual obat ketika saya membeli.
Malam itu pukul 20.30. Saya belum makan malam. Mencari rumah makan di sepanjang perjalanan tidak ada yang buka. Rupanya mereka menaati aturan PPKM Darurat. Semua rumah makan dan kegiatan bisnis lainnya harus tutup pukul 20.00. Sebelum jam itu, semua rumah makan hanya melayani take away alias dibungkus.
Adik saya tertawa. Hari itu dia bersama istri keliling kota. Ingin merasakan lengangnya jalanan. Yang dirasakan malah ruwetnya jalan-jalan alternatif yang dilewati. Memang banyak jalan yang sepi di tengah kota. Tetapi tidak bisa dilalui. Karena diblokade.
Dia berhenti di sebuah rumah makan yang masih buka. Ada beberapa mobil parkir. Tapi kondisi rumah makan itu sepi. Kursinya dibalik. Di dinding tertempel pengumuman tidak melayani makan di tempat. Dia nekad bertanya. ”Apa boleh makan di sini,” katanya seperti yang disampaikan kepada saya. Ternyata dipersilakan naik ke lantai II. Di sana sudah ada beberapa orang yang makan. ”Akale pinter,” katanya sambil ngakak.
Malamnya dia putar-putar lagi di kota. Sudah tidak ada warung yang buka. Akhirnya dia melipir ke pinggiran. Dia ambil satu ekor bebek goreng. Dibawa pulang. Itulah yang digunakan -termasuk saya- untuk sahur Puasa Tarwiyah kemarin.
Puasa Tarwiyah adalah puasa sunah tanggal 8 Zulhijjah. Berlanjut Puasa Arofah tanggal 9 Zulhijjah, saat jemaah haji wukuf di Arofah hari ini. Puasa Tarwiyah dan Arofah mendahului hari raya kurban. Besar kemungkinan Idul Adha besok sepi. Meski demikian, kami bersyukur ada 16 karyawan Radar Semarang dan 15 karyawan Radar Kudus yang berkurban yang difasilitasi perusahaan.
Saya sepakat dengan kesimpulan pemerintah, lalu lintas turun 30 persen. Tapi itu hanya di kota. Di desa-desa sepanjang saya amati masih biasa saja. Apalagi sampai menurunkan angka korban Covid-19.
Ketika menulis tulisan ini, kemarin siang ada pengumuman dari masjid di seberang jalan. Seorang warga meninggal di rumah sakit. Dimakamkan pukul 14.00. Seorang tukang memberi tahu saya, almarhum meninggal karena positif Covid. Belum tujuh hari tetangga korban juga meninggal.
Beberapa waktu lalu di kampungnya ada orang meninggal karena Covid. Mereka ayah dan anak. Dia sempat mengikuti pemakaman dengan protokol Covid. Jenazahnya ditempatkan di peti. Liangnya 2×1 meter.
Demikianlah, Covid sudah masuk ke pelosok-pelosok desa. Tapi yang diblokade jalan-jalan menuju kota.
Tingkat kesadaran orang-orang desa belum seperti di kota. Itu wajar. Masih banyak di antara mereka yang belum familier dengan masker. Apalagi vaksinasi Covid. Apalagi swab. Bahkan meningkatkan imun dengan bahan-bahan yang ada di sekitar juga masih abai.
Ketika rumah sakit penuh. Ditambah berapa pun jumlah bed-nya tetap penuh. Ketika obat-obatan langka. Harganya melambung sekalipun tetap langka. Ketika tenaga kesehatan berkurang. Ditambah sukarelawan sekalipun tetap kurang. Maka tidak ada jalan lain kecuali megobarkan semangat untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Imunisasi yang digalakkan pemerintah ternyata masih terbatas. Memang sudah sampai desa-desa. Tetapi vaksinnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang membutuhkan. Apalagi sekarang diperluas sampai 12 tahun ke atas. Kalaupun ada, masyarakat juga belum menanggapinya secara serius. Kecuali pemerintah memaksa dengan mendatangi desa-desa. Meng-oprak-oprak penduduk dari pintu ke pintu. Tentu vaksinnya harus mencukupi dulu.
Bisakah? Jawabnya harus bisa.
Sebelum vaksinasi beres, ada cara lain peningkatan imun. Dengan makan yang sehat dan mengosumsi bahan rempah yang ada di sekitar. Inilah cara yang paling masuk akal yang bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Repotnya, bagi sebagian orang, untuk makan yang cukup saja kesulitan. Kegiatan ekonomi nyaris lumpuh. Bansos megap-megap.
Apapun kondisinya, semangat untuk hidup harus terus digelorakan. Kegembiraan harus dijaga. Jangan sampai penduduk kita stres memikirkan PPKM Darutan yang semakin ketat. Belum dua minggu selesai sudah muncul kabar diperpanjang dua pekan lagi.
Semoga kita tetap sehat. Selamat merayakan Idul Adha. (*)