29.7 C
Kudus
Tuesday, March 21, 2023

Lebih Dekat dengan Heru Karjanto: Bos asal Rembang yang Suka Naik Kereta Ekonomi

LELAKI itu menunjukkan sebuah foto diri. Sedang duduk di kereta. Sendirian. Dari deretan kursi yang terlihat bisa diketahui kelasnya. Ekonomi. Padahal lelaki itu bos. Naik kendaraan semahal apapun di negeri ini bisa membayar.

Baehaqi, Direktur Jawa Pos Radar Kudus (DOK. RADAR KUDUS)

Heru Karjanto, lelaki itu, enjoy saja. Siang itu dalam perjalanan dari Semarang ke Cepu. Naik kereta Ambarawa Ekspres jurusan Semarang – Surabaya. Kereta itu biasa saya naiki.

Tarifnya dari Semarang ke Surabaya hanya Rp 85 ribu. (Sekarang telah naik menjadi Rp 95 ribu). Kalau turun di Cepu cuma Rp 75 ribu. Pulangnya naik Gumarang. Juga kelas ekonomi. Padahal kereta itu memiliki kelas eksekutif.


Tujuan pejalanannya sendiri ke Rembang. Di sana dia punya perusahaan yang bergerak dalam pemrosesan feldspar. Hasil tambang golongan C itu kelak menjadi bahan baku industri keramik. Perusahaan itu juga menghasilkan dolomite sebagai bahan baku utama pembuatan kaca lembaran. Di Rembang itu pula dia punya perusahaan angkutan.

“Kalau ke Rembang silakan mampir di pabrik. Saya akan masak buat Pak Baehaqi,” ujarnya ketika dia tahu saya sering ke Rembang.

Perusahaan lain ada di Lamongan. Bergerak alam bidang yang sama. Kalau ke Kota Tahu Campur itu dia juga sering naik kereta ekonomi. “Cepat, praktis, dan ekonomis,” alasannya.

Saya bertemu pemilik perusahaan CV Mitra Sejahtera itu di rumahnya di Semarang. Rumahnya, menurut saya, biasa saja. Setara dengan rumah-rumah lain di kawasan perumahan dimana dia tinggal. Di depan rumah ada pohon durian Musang King. Menghiasi taman kecil. Sekarang sedang berbuah. “Tinggal dua, ha ha ha,” ujarnya terkekeh.

SEDERHANA: Heru Karjanto naik kereta Ambarawa Ekspres jurusan Semarang – Surabaya. (ISTIMEWA)

Istri Heru, Erniwati ikut menyambut. Menyuguhkan teh dan jadah goreng. Ada yang menyebut gemblong, tetel, atau ketan. Makanan khas Jawa.

Dari wajahnya saya menebak bapak dua anak itu keturunan Tionghoa. Matanya sipit. Tetapi kepribadiannya sangat Indonesia. Bahkan sangat Jawa. Sederhana, ramah, dan menghargai sesama. “Saya punya nama Tionghoa tetapi tak pernah saya gunakan,” ujarnya.

Keindonesiaannya diwujudkan dalam mengelola perusahaan. Setiap tanggal 17 Agustus dilakukan upacara bendera HUT Kemerdekaan RI. Untuk meningkatkan nasionalisme. Diikuti oleh seluruh karyawan. Heru sendiri yang menjadi inspektur upacara.

“Sudah 27 kali saya menjadi pembina upacara. Hanya kalah dengan almarhum Pak Harto,” katanya berkelakar.

Baca Juga :  Panggil Saya Pak Oei (Oei Hong Djien)

Dia juga punya perhatian besar terhadap pelestarian lingkungan. Jumat minggu kemarin, misalnya, dia bagi-bagi bibit nangka dan sawo manila di Donorojo, Jepara. Penyerahan dilakukan bersama Teguh A. Wibowo, direktur Asahimas Flat Glass tbk.

Sebelumnya mereka sudah membagikan 1.400 bibit di Brondong, Lamongan. Dari kedua daerah itu, antara lain dia mendapat mineral feldspar dan dolomite.

Feldspar adalah bahan baku industri kemarik. Sedangkan dolomite untuk pembuatan kaca lembaran. Heru menjadi pemasok dolomite di PT Asahimas. Untuk memproses kedua hasil tambang dibutuhkan peralatan dan angkutan berat.

Perusahaan Heru merekayasa sendiri peralatannya. Hebatnya, sebagian besar karyawannya hanya berpendidikan SD dan SMP. Bahkan banyak yang putus sekolah. Mereka menciptakan sendiri mesin giling, mesin ayak, dan conveyor. Kebetulan dia hobi teknik dan didukung anak buah yang loyal.

Kendaraan-kendaraan berat hasil dari rekondisi. Truk, ekskavator, loder, forklift, dan panter, dicopot total semua bagian. Kemudian diservis dan dirakit kembali. “Jangan sampai kita dibodohi orang Jepang,” katanya.

Heru memperlakukan karyawan itu sebagai keluarga. Dia sering mengajak makan bersama. Bahkan di restoran kesukaannya. Dalam bekerja pun mereka bersama. Heru tampil memberi contoh nyata. Ini sekaligus memecahkan krisis yang menurut Heru masih menghantui negeri ini. Krisis tranformasi.

Sekarang, katanya, antargenerasi terjadi gap. Generasi muda terlalu lama di bangku sekolah. Generasi tua tidak mau terjun langsung menangani. Akibatnya tranformasi terputus. Nilai-nilai tidak nyambung. Banyak perusahaan bangkrut karena masalah ini.

Kalau diajak bicara membangun bangsa Heru sangat antusias. Ngomongnya santai. Ceplas-ceplos. Sering diwarnai derai tawa terbahak-bahak. Sejak kecil dia sudah ditempa oleh keadaan. Bisa menjadi orang karena jerih payah sendiri dan keluarga.

Heru lahir di Juwana, Pati. Besar di Lasem, Rembang. Orang tuanya pedagang. Kemudian bangkrut. Sampai tak bisa menyekolahkan anaknya. Heru harus menghidupi diri sendiri. Menjadi pembantu sopir truk pengangkut sembako. Wira-wiri Rembang – Surabaya.

Lama-lama dia tahu berdagang. Awalnya berjualan krupuk. Diambil dari Surabaya. Dinunutkan truk. Kemudian diedarkan di Rembang. Itulah awal dia menjadi pengusaha.
Setelah sukses dia pindah ke Jakarta. Tetapi tidak kerasan. Terlalu hiruk pikuk. Dipilihlah kota besar tetapi masih nyaman. Sekarang dia tinggal di Semarang. (*)


LELAKI itu menunjukkan sebuah foto diri. Sedang duduk di kereta. Sendirian. Dari deretan kursi yang terlihat bisa diketahui kelasnya. Ekonomi. Padahal lelaki itu bos. Naik kendaraan semahal apapun di negeri ini bisa membayar.

Baehaqi, Direktur Jawa Pos Radar Kudus (DOK. RADAR KUDUS)

Heru Karjanto, lelaki itu, enjoy saja. Siang itu dalam perjalanan dari Semarang ke Cepu. Naik kereta Ambarawa Ekspres jurusan Semarang – Surabaya. Kereta itu biasa saya naiki.

Tarifnya dari Semarang ke Surabaya hanya Rp 85 ribu. (Sekarang telah naik menjadi Rp 95 ribu). Kalau turun di Cepu cuma Rp 75 ribu. Pulangnya naik Gumarang. Juga kelas ekonomi. Padahal kereta itu memiliki kelas eksekutif.

Tujuan pejalanannya sendiri ke Rembang. Di sana dia punya perusahaan yang bergerak dalam pemrosesan feldspar. Hasil tambang golongan C itu kelak menjadi bahan baku industri keramik. Perusahaan itu juga menghasilkan dolomite sebagai bahan baku utama pembuatan kaca lembaran. Di Rembang itu pula dia punya perusahaan angkutan.

“Kalau ke Rembang silakan mampir di pabrik. Saya akan masak buat Pak Baehaqi,” ujarnya ketika dia tahu saya sering ke Rembang.

Perusahaan lain ada di Lamongan. Bergerak alam bidang yang sama. Kalau ke Kota Tahu Campur itu dia juga sering naik kereta ekonomi. “Cepat, praktis, dan ekonomis,” alasannya.

Saya bertemu pemilik perusahaan CV Mitra Sejahtera itu di rumahnya di Semarang. Rumahnya, menurut saya, biasa saja. Setara dengan rumah-rumah lain di kawasan perumahan dimana dia tinggal. Di depan rumah ada pohon durian Musang King. Menghiasi taman kecil. Sekarang sedang berbuah. “Tinggal dua, ha ha ha,” ujarnya terkekeh.

SEDERHANA: Heru Karjanto naik kereta Ambarawa Ekspres jurusan Semarang – Surabaya. (ISTIMEWA)

Istri Heru, Erniwati ikut menyambut. Menyuguhkan teh dan jadah goreng. Ada yang menyebut gemblong, tetel, atau ketan. Makanan khas Jawa.

Dari wajahnya saya menebak bapak dua anak itu keturunan Tionghoa. Matanya sipit. Tetapi kepribadiannya sangat Indonesia. Bahkan sangat Jawa. Sederhana, ramah, dan menghargai sesama. “Saya punya nama Tionghoa tetapi tak pernah saya gunakan,” ujarnya.

Keindonesiaannya diwujudkan dalam mengelola perusahaan. Setiap tanggal 17 Agustus dilakukan upacara bendera HUT Kemerdekaan RI. Untuk meningkatkan nasionalisme. Diikuti oleh seluruh karyawan. Heru sendiri yang menjadi inspektur upacara.

“Sudah 27 kali saya menjadi pembina upacara. Hanya kalah dengan almarhum Pak Harto,” katanya berkelakar.

Baca Juga :  Unjuk Televisi saat Pemberian Apresiasi

Dia juga punya perhatian besar terhadap pelestarian lingkungan. Jumat minggu kemarin, misalnya, dia bagi-bagi bibit nangka dan sawo manila di Donorojo, Jepara. Penyerahan dilakukan bersama Teguh A. Wibowo, direktur Asahimas Flat Glass tbk.

Sebelumnya mereka sudah membagikan 1.400 bibit di Brondong, Lamongan. Dari kedua daerah itu, antara lain dia mendapat mineral feldspar dan dolomite.

Feldspar adalah bahan baku industri kemarik. Sedangkan dolomite untuk pembuatan kaca lembaran. Heru menjadi pemasok dolomite di PT Asahimas. Untuk memproses kedua hasil tambang dibutuhkan peralatan dan angkutan berat.

Perusahaan Heru merekayasa sendiri peralatannya. Hebatnya, sebagian besar karyawannya hanya berpendidikan SD dan SMP. Bahkan banyak yang putus sekolah. Mereka menciptakan sendiri mesin giling, mesin ayak, dan conveyor. Kebetulan dia hobi teknik dan didukung anak buah yang loyal.

Kendaraan-kendaraan berat hasil dari rekondisi. Truk, ekskavator, loder, forklift, dan panter, dicopot total semua bagian. Kemudian diservis dan dirakit kembali. “Jangan sampai kita dibodohi orang Jepang,” katanya.

Heru memperlakukan karyawan itu sebagai keluarga. Dia sering mengajak makan bersama. Bahkan di restoran kesukaannya. Dalam bekerja pun mereka bersama. Heru tampil memberi contoh nyata. Ini sekaligus memecahkan krisis yang menurut Heru masih menghantui negeri ini. Krisis tranformasi.

Sekarang, katanya, antargenerasi terjadi gap. Generasi muda terlalu lama di bangku sekolah. Generasi tua tidak mau terjun langsung menangani. Akibatnya tranformasi terputus. Nilai-nilai tidak nyambung. Banyak perusahaan bangkrut karena masalah ini.

Kalau diajak bicara membangun bangsa Heru sangat antusias. Ngomongnya santai. Ceplas-ceplos. Sering diwarnai derai tawa terbahak-bahak. Sejak kecil dia sudah ditempa oleh keadaan. Bisa menjadi orang karena jerih payah sendiri dan keluarga.

Heru lahir di Juwana, Pati. Besar di Lasem, Rembang. Orang tuanya pedagang. Kemudian bangkrut. Sampai tak bisa menyekolahkan anaknya. Heru harus menghidupi diri sendiri. Menjadi pembantu sopir truk pengangkut sembako. Wira-wiri Rembang – Surabaya.

Lama-lama dia tahu berdagang. Awalnya berjualan krupuk. Diambil dari Surabaya. Dinunutkan truk. Kemudian diedarkan di Rembang. Itulah awal dia menjadi pengusaha.
Setelah sukses dia pindah ke Jakarta. Tetapi tidak kerasan. Terlalu hiruk pikuk. Dipilihlah kota besar tetapi masih nyaman. Sekarang dia tinggal di Semarang. (*)


Most Read

Artikel Terbaru