DATANG lagi keindahan! Indahnya jalan macet. Indahnya lalu-lalang pengunjung mal. Indahnya umpel-umpelan konser Rossa. Indahnya gemuruh Dream Theater di Solo Agustus mendatang.
Indahnya suara wajan nasi goreng yang tepercik api arang dan keringat penjualnya. Indahnya menelan ludah di depan kasir gelato. Indahnya kerumunan gerobak cakue Peneleh. Indahnya siswa berkejaran di ruang sekolah.
Indahnya antre boarding di bandara. Indahnya disambut, dipeluk pacar di pintu kedatangan. Oh, indahnya hidup. Ke mana saja selama dua tahun kau pergi.
Sudahlah, cukup di sini saja segala bentuk pembatasan dan larangan berkumpul. Kangen keramaian itu beraat.. Kita semua hanya perlu tahu bahwa mal hening karena tak ada pengunjung itu menyakitkan kita semua. Trotoar bersih karena tak ada pejalan lewat itu kebersihan fatamorgana.
Kuta, Legian, Sanur, Jimbaran, itu keindahan yang sadis tanpa kita makan ikan bakar dan tertawa bersama teman dan keluarga di sana. Pandemi cukup sekali, Lord Luhut! Jangan keluarkan pengumuman-pengumuman lagi. Kita tak sanggup kalau terus-terusan dilarang piknik. Rumah bisa beralih fungsi jadi bonbin. Saling cakar!
Kodrat hidup adalah berputar. Berputar.. berputar, dan pasti akan berputar lagi. Kita capek lahir batin, gepeng seperti tempe penyet, selama dua tahun berada di dasar roda karena putarannya mandek akibat terganjal virus Covid-19.
Koran kabarnya bagaimana? Sepanjang sikap dan cara berpikirnya tetap tabah, tidak goyah, koran akan selalu ada dalam dinamika lingkaran perputaran hidup. Tidak perlu hilang atau terlempar dari orbit industri media. Ya penyet, tapi biasa-biasa saja. Seperti halnya tempe penyet: enak!
Yang membuat nilai adalah manakala koran harus menghadapi guncangan paling keras. Ciri-ciri mereka yang andal dan tahan guncangan bisa dengan mudah dilihat. Di saat Covid-19 ikut mengempaskan roller coaster disrupsi media, kebanyakan koran hanya menjerit histeris. Seolah dunia surat kabar akan dalam posisi terbalik selamanya.
Jawa Pos? Dilarang keras kehilangan kesadaran. Harus terus terjaga, tetap kreatif, dan berpegang erat pada sendi-sendi etik jurnalistik. Pergelangan sama sekali tidak boleh kaku. Karena itulah rumus menyatukan diri dalam gerakan kinetik alam. Dengan cara itu, kita bisa tetap enjoy di puncak terpaan ombak. Ingat, banyak hal berubah, tapi sebagian besar hidup tetap berjalan dengan ke-konvensionalan-nya. Tak perlu minder menjadi media konvensional!
Dua tahun pandemi, newsroom memang terasa sepi. Tapi, ide dari tim redaksi tetap dialirkan dari rumah, dari warkop, dari mana-mana.
Hari ini, tepat 73 tahun sejak Jawa Pos dilahirkan oleh The Chung Sen, koran yang Anda baca ini hadir lebih bergairah dan nuansa baru. Ruang redaksi ramai lagi! Sementara koran lain sudah banyak yang memutuskan berhenti terbit. Atau terbit ala kadarnya –hitam-putih, Jawa Pos tetap full colour. Mulai hari ini, tampil dengan spirit baru lagi: colorful!
Pascapandemi, para redaktur kembali bercengkerama tentang ide di redaksi. Wartawan dan fotografer terus bersampan dalam liku-liku liputan. Desainer dan tata artistik bersemangat mengolah bidang dan warna. Tim marketing menemani klien dengan perspektif baru bermedia, yaitu multiplatform. Departemen IT akan menaikkan akses wifi redaksi dengan kecepatan dua kali lipat. Meja kursi ditata ulang agar lebih ”lounge”. Temprina –percetakan grup Jawa Pos– akan terus meningkatkan mutu cetaknya.
Bagi kami, situasi kemarin memang mirip fenomena bulan puasa, hanya durasinya yang berbeda. Lebih puanjang! Dua tahun full menahan dahaga dan harus serius mengendalikan diri. Tidak mudah sensi, cengeng, dan gampang tersinggung. Dengan keyakinan: pasti datang waktunya ngabuburit, lalu berbuka bersama-sama. Biasanya diawali dengan mengasup buah segar, merona, meneon, dingin, warna-warni, seperti baju party kami di ulang tahun ke-73 kali ini, yang akan merefleksikan warna Jawa Pos ke depan.
Pembaca sekalian, kesegaran baru ini sungguh milik kita semua, Jawa Pos hanya ada di dalamnya.
Jawa Pos, selalu ada yang baru! (jpc)