24.1 C
Kudus
Thursday, March 30, 2023

Melihat Lebih Dekat Tambang Minyak di Sumur Tua Ledok Blora yang Hasilnya Dibagi Tiga

LORA – Desa Ledok, Blora, sejak zaman Belanda penghasil minyak. Pengambilan sebagian dilakukan warga. Hasilnya dibagi tiga yaitu penambang, perkumpulan penambang, dan BUMD pengelola minyak.

Deru mesin di tengah hutan jati terdengar bergemuruh di Kamis sore (9/3). Seorang penambang tampak memegang dua tuas dengan kedua tangannya. Sedangkan kaki kanannya digunakan untuk mengatur kecepatan mesin disel yang menaik-turunkan timba minyak di sumur tua.

Aktivitas itu dilakukan Teguh, buruh timba asal Desa/Kecamatan Sambong. Dia melakukannya sendiri. Itu karena sumur berkode LDK 155 itu produksinya sedang kurang baik.


Ia melaksanakan tugasnya di titik itu setiap dua hari sekali.

Sedangkan untuk sumur dengan produksi lebih melimpah, pekerjaan menimba minyak biasa dilakukan dua orang. Satu orang bertugas mengendalikan mesin untuk naik turunkan timba. Sedang satu lainnya menggeser timba saat sudah berada di atas bak penampungan sementara.

Untuk ke lokasi itu, wartawan ini menempuh perjalan satu jam dari pusat Kota Blora. Jaraknya sekitar 28 Km dari titik itu.

Dari Jalan Nasional Blora-Cepu jaraknya sekitar 4 Km. Mulai masuk hutan, jalan menuju ke lokasi berbatu. Di tengah hutan jati.

Saat ditemui di lokasi, Teguh tampak terampil mengoperasikan mesin disel dan alat rakitan sederhana itu.

Sudah 16 tahun, dia menggelutinya. Alat itu untuk mengambil minyak dari perut bumi. Dia mendorong tuas kanan saat akan mengangkat timba dari sumur. Diameter sumur itu sekitar 4-5 inchi. Muat sling besi.

Timba itu bentuknya mirip pensil. Di atas sumur dia sudah memasang kayu disusun berbentuk segitiga. Susunan segitiga itulah untuk mengaitkan katrol.

Cara mengambil minyak di dalam sumur tua itu dengan cara menarik sling baja. Sling itu disambungkan dengan truk diesel. Di ujung sling baja itu ada besi panjang. Bentuknya mirip pensil. Alat itu berfungsi sebagai timba untuk mengambil minyak dari dalam sumur.
Dan menarik tuas kanan saat menurunkan timba ke dalam sumur lagi. Sedangkan tuas kiri untuk mengerem laju timba saat menurunkan kembali ke dalam sumur.

Tali yang digunakan adalah kawat ulir atau sling baja. Dua buah katrol tetap dipasang untuk memudahkan proses penambangan. Satu katrol berjarak sekitar empat meter di depan mesin dipasang dengan kayu yang ditali menggunakan tambang. Satu lagi di puncak penyangga berbentuk limas segitiga yang ditopang pipa-pipa besi. Penyangga itu diperkuat dengan kayu dan besi.

Baca Juga :  Posyantek Desa Nglobo Blora Raih Juara 2 Nasional

Pria itu mengenakan pakaian pekerja tambang. Baju dan celananya nyambung. Tapi bajunya sedang tidak dipakai saat ditemui wartawan. Sehingga hanya tampak kaos putih yang menutupi badannya. Namun dia tidak mengenakan helm dan sepatu saat mengoperasikan mesin dan alat penimba minyak tersebut.

Ketika baru dikeluarkan dari perut bumi, minyak masih bercampur dengan air dan lumpur. Orang sekitar menyebutnya sebagai latung. Latung itu lalu disalurkan ke pipa penampungan. Kemudian dipisahkan. Ada pekerja yang menggunakan deterjen untuk mempermudah pemisahan itu.

Setelah minyak sudah terpisah dari air dan lumpur, minyak mentah itu  dipindahkan ke bak penampungan minyak siap angkut. Minyak itu kemudian diangkut dengan truk tangki untuk dibawa ke Pertamina. Sebab di Ledok tak ada pengolahan minyak mentah itu. Di Blora, pengolahan minyak hanya ada di Cepu, itu pun hanya berskala kecil.

“Kalau penghasilan penambang, itu tidak ada patokannya. Menyesuaikan dengan jumlah minyak yang dihasilkan dan harga minyak mentahnya,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Kudus.

Menggunakan mesin disel merupakan salah satu cara tradisional untuk “menambang emas” hitam di Desa Ledok. Sumur yang jumlah produksinya lebih banyak, biasanya menggunakan mesin bekas truk. Lengkap dengan gas, rem, serta kopling dan posnelengnya. Sedangkan sumur yang dikelola langsung oleh Pertamina, penambangannya menggunakan pompa angguk.

Sementara salah seorang penambang yang tak mau disebutkan namanya, mengaku telah menjadi penambang sejak era awal sumur tua Ledok berproduksi kembali. Sekitar tahun 2000-an.

Dia berharap, adanya sumber daya alam yang ada di Desa Ledok itu mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Baik untuk kesejahteraan rakyat, bahkan bisa dikenalkan ke dunia luar. “Sebenernya kalau bisa dimanfaatkan maksimal, ini bisa menjadi tempat pariwisata, bisa mendatangkan pengunjung. Secara tidak langsung bakal meningkatkan perekonomian masyarakat juga, karena UMKM nantinya akan lebih bergeliat lagi,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya.

Rerata minyak yang dihasilkan, lanjutnya, dari lapangan Ledok itu sekitar 800 ribu liter tiap bulannya. Sedangkan hasil penjualan, tak semuanya untuk masyarakat penambang. Tapi ada juga bagian untuk Perkumpulan Penambang Minyak Sumur Timba Ledok (PPMSTL) selaku organisasi para penambang. Sebagian lagi untuk PT Blora Patra Energi. Sebuah BUMD yang ditugaskan untuk mengelola sumur minyak tua, yang secara langsung bekerja sama dengan Pertamina. (cha/zen)






Reporter: Ahmad Zaimul Chanief

LORA – Desa Ledok, Blora, sejak zaman Belanda penghasil minyak. Pengambilan sebagian dilakukan warga. Hasilnya dibagi tiga yaitu penambang, perkumpulan penambang, dan BUMD pengelola minyak.

Deru mesin di tengah hutan jati terdengar bergemuruh di Kamis sore (9/3). Seorang penambang tampak memegang dua tuas dengan kedua tangannya. Sedangkan kaki kanannya digunakan untuk mengatur kecepatan mesin disel yang menaik-turunkan timba minyak di sumur tua.

Aktivitas itu dilakukan Teguh, buruh timba asal Desa/Kecamatan Sambong. Dia melakukannya sendiri. Itu karena sumur berkode LDK 155 itu produksinya sedang kurang baik.

Ia melaksanakan tugasnya di titik itu setiap dua hari sekali.

Sedangkan untuk sumur dengan produksi lebih melimpah, pekerjaan menimba minyak biasa dilakukan dua orang. Satu orang bertugas mengendalikan mesin untuk naik turunkan timba. Sedang satu lainnya menggeser timba saat sudah berada di atas bak penampungan sementara.

Untuk ke lokasi itu, wartawan ini menempuh perjalan satu jam dari pusat Kota Blora. Jaraknya sekitar 28 Km dari titik itu.

Dari Jalan Nasional Blora-Cepu jaraknya sekitar 4 Km. Mulai masuk hutan, jalan menuju ke lokasi berbatu. Di tengah hutan jati.

Saat ditemui di lokasi, Teguh tampak terampil mengoperasikan mesin disel dan alat rakitan sederhana itu.

Sudah 16 tahun, dia menggelutinya. Alat itu untuk mengambil minyak dari perut bumi. Dia mendorong tuas kanan saat akan mengangkat timba dari sumur. Diameter sumur itu sekitar 4-5 inchi. Muat sling besi.

Timba itu bentuknya mirip pensil. Di atas sumur dia sudah memasang kayu disusun berbentuk segitiga. Susunan segitiga itulah untuk mengaitkan katrol.

Cara mengambil minyak di dalam sumur tua itu dengan cara menarik sling baja. Sling itu disambungkan dengan truk diesel. Di ujung sling baja itu ada besi panjang. Bentuknya mirip pensil. Alat itu berfungsi sebagai timba untuk mengambil minyak dari dalam sumur.
Dan menarik tuas kanan saat menurunkan timba ke dalam sumur lagi. Sedangkan tuas kiri untuk mengerem laju timba saat menurunkan kembali ke dalam sumur.

Tali yang digunakan adalah kawat ulir atau sling baja. Dua buah katrol tetap dipasang untuk memudahkan proses penambangan. Satu katrol berjarak sekitar empat meter di depan mesin dipasang dengan kayu yang ditali menggunakan tambang. Satu lagi di puncak penyangga berbentuk limas segitiga yang ditopang pipa-pipa besi. Penyangga itu diperkuat dengan kayu dan besi.

Baca Juga :  Lakukan Sidak, Dindagkop UKM Blora Temukan Tiga Kios Jual Pupuk Diatas HET

Pria itu mengenakan pakaian pekerja tambang. Baju dan celananya nyambung. Tapi bajunya sedang tidak dipakai saat ditemui wartawan. Sehingga hanya tampak kaos putih yang menutupi badannya. Namun dia tidak mengenakan helm dan sepatu saat mengoperasikan mesin dan alat penimba minyak tersebut.

Ketika baru dikeluarkan dari perut bumi, minyak masih bercampur dengan air dan lumpur. Orang sekitar menyebutnya sebagai latung. Latung itu lalu disalurkan ke pipa penampungan. Kemudian dipisahkan. Ada pekerja yang menggunakan deterjen untuk mempermudah pemisahan itu.

Setelah minyak sudah terpisah dari air dan lumpur, minyak mentah itu  dipindahkan ke bak penampungan minyak siap angkut. Minyak itu kemudian diangkut dengan truk tangki untuk dibawa ke Pertamina. Sebab di Ledok tak ada pengolahan minyak mentah itu. Di Blora, pengolahan minyak hanya ada di Cepu, itu pun hanya berskala kecil.

“Kalau penghasilan penambang, itu tidak ada patokannya. Menyesuaikan dengan jumlah minyak yang dihasilkan dan harga minyak mentahnya,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Kudus.

Menggunakan mesin disel merupakan salah satu cara tradisional untuk “menambang emas” hitam di Desa Ledok. Sumur yang jumlah produksinya lebih banyak, biasanya menggunakan mesin bekas truk. Lengkap dengan gas, rem, serta kopling dan posnelengnya. Sedangkan sumur yang dikelola langsung oleh Pertamina, penambangannya menggunakan pompa angguk.

Sementara salah seorang penambang yang tak mau disebutkan namanya, mengaku telah menjadi penambang sejak era awal sumur tua Ledok berproduksi kembali. Sekitar tahun 2000-an.

Dia berharap, adanya sumber daya alam yang ada di Desa Ledok itu mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Baik untuk kesejahteraan rakyat, bahkan bisa dikenalkan ke dunia luar. “Sebenernya kalau bisa dimanfaatkan maksimal, ini bisa menjadi tempat pariwisata, bisa mendatangkan pengunjung. Secara tidak langsung bakal meningkatkan perekonomian masyarakat juga, karena UMKM nantinya akan lebih bergeliat lagi,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya.

Rerata minyak yang dihasilkan, lanjutnya, dari lapangan Ledok itu sekitar 800 ribu liter tiap bulannya. Sedangkan hasil penjualan, tak semuanya untuk masyarakat penambang. Tapi ada juga bagian untuk Perkumpulan Penambang Minyak Sumur Timba Ledok (PPMSTL) selaku organisasi para penambang. Sebagian lagi untuk PT Blora Patra Energi. Sebuah BUMD yang ditugaskan untuk mengelola sumur minyak tua, yang secara langsung bekerja sama dengan Pertamina. (cha/zen)






Reporter: Ahmad Zaimul Chanief

Most Read

Artikel Terbaru